Pilih Prabowo-Sandi, Tepat

Jiromedia.com -Makassar, Merauke, Sorong, Manado, Bandung, Lombok, Bali, Karawang, Bekasi, dan Bogor yang telah datangi Prabowo dan Sandi melakukan kampanye terbuka, pecah. Tempat-tempat kampanye ini terlihat bagai lautan manusia. Bandung, kota di tanah Pasundan, tanah Siliwangi, ditempat-tempat lain, menjadi Bandung lautan manusia.
Memilih Prabowo-Sandi, cukup masuk akal. Ini karena demokrasi liberal yang dipraktikan saat ini, terus terang, mengandung terlalu banyak kelemahan. Kelemahannya begitu mendasar, mencengangkan dan memukul, walau seperti di Amerika, negeri pengekspor demokrasi, tak terlihat oleh kebanyakan orang. 
Kenali dengan Baik 
Kelemahan-kelemahan itu, untuk sebagian terlihat dari pernyataan Prabowo-Sandi bahwa lapangan kerja menyempit dan harga-harga barang begitu susah dijangkau. Kelemahan-kelemahan lain dapat dikenali dari pernyataan Pak Jusuf Kalla, Wakil Presiden saat ini, yang dikemukakan beberapa waktu lalu bahwa ruas tertentu dalam proyek infrastruktur jalan tidak efisien.
Pemilih, siapapun anda, dari suku manapun anda, apapun agamamu, mesti mengenali makna dari pernyataan-pernyataan itu. Sempitnya lapangan kerja, cukup jelas, tidak hanya memukul satu kelompok, dengan streotipe apapun. Tidak. Semua terkena. Harga-harga yang tak terjangkau, juga sama, memukul siapapun, karena harga tak mengenal streotipe apapun.
Prabowo, yang Pak Made Mangku Pastika, mantan gubernur Bali dua periode, yang sebelumnya berkarir, cukup sukses di Kepolisian, dan mengagumkan dalam menangani aksi terorisme di Bali belasan tahun lalu, akui sebagai patriot. Tumbuh dalam dunia militer, dunia yang menjadikan NKRI sebagai harga mati, Pancasila, UUD dan rakyat sebagai nadinya, mengekspresian sikap itu melalui pernyataan—pernyataannya bahwa semua warga negara dalam NKRI ini bersaudara, tidak peduli dari suku manapun, dan apapun agamanya. 
Tidak sekalipun, sejauh ini, seperti Donald Trump di Amerika, yang dalam kampanyenya mengobarkan xenophobia terhadap ras, imigran dan agama, Islam misalnya. Tidak. Tidak sekalipun, sejauh ini, keluar dari mulut Prabowo pernyataan-pernyataan tentang supremasi etnis, atau agama, apapun. Tidak. Sebagai orang terdidik, keduanya mengetahui betapa tuduhan khilafah yang dialamatkan kepada pendukungnya sedari awal dirinya mau mencalonkan diri menjadi presiden, tidak pernah tak terhubung skema rencana siap pakai, tersembunyi, mendelegitimasi kredibilitas kesatraiannya. 
Sebagai orang terdidik, besar dalam dunia militer, dunia yang menempatkan persatuan dan kesatuan bangsa, keutuhan NKRI dan Pancasila sebagai nadinya, Prabowo, cukup beralaasan untuk diyakini, mengetahui tuduhan, tentu tak kompeten itu, tak lebih dari sekadar lelucon termurah yang paling mungkin dijual. Mantan jenderal Angkatan Darat, yang begitu lama berada dalam jajaran elit TNI, dan patriot  bangsa beridiologi khilafah? Yang benar aja deh. 
Tepat
Dunia tidak berubah dengan sendirinya, apapun alasannya. Dunia berubah karena ingin diubah. Karena ingin diubah, maka perubahan diarahkan pada impian perencana, tersembunyi, yang selalu sukses memoles agendanya dengan argumen-argumen yang tampak rasional. Memuji-muji, menakut-nakuti, memukul, menghancurkan, sebelumnya akhirnya merangkul dan mengendalikan, itulah dunia politik Barat yang terlihat hari-hari ini. 
Sejarah sebuah negara adalah sejarah, cukup dominan, pemimpin. Pemimpin bukan pemimpi, yang mau melawan rakyatnya. Pemimpin, begitu dalam sejarah, sulit disangkal, muncul sebagai benteng, pemandu persatuan dan kesatuan, kemajuan, atau penyebab keterbelakangan sebuah bangsa. Siapapun pada hari-hari ini, sekadar ilustrasi, tak bakal mampu melepaskan konsep One Belt one Road (Obor) dari Xi Zinping, pemimpin China saat ini. Dunia tak bakal menemukan Rusia saat ini bila Boris Yeltzink, entah disengaja atau tidak, meluncurkan presteroika dan glasnot. 
Akibat kekacauan dalam bidang apapun dalam sebuah negara, dalam sejarahnya, tak pernah dipikul hanya oleh satu kelompok masyarakat, apapun streotipenya. Tidak.  Itulah yang terlihat dari kekacauan ekonomi tahun 1998, dua puluh tahun yang lalu di negeri tercinta ini. Tidak pernah, dalam sejarahnya, sekali lagi, akibat buruk dari kekacauan ekonomi hanya dipikul oleh satu kelompok masyarakat. 
Resesi ekonomi tahun 1930-an dipikul oleh seluruh masyarakat Amerika. Karena resesi ini menghancurkan begitu banyak kesempatan kerja, maka solusi terdekat adalah bekerja cepat membuka lapangan kerja, memberikan proteksi pada industri pertanian, dan lainnya. Ini dikenal imuan politik dan tata negara dengan program 100 hari pertama dan 100 hari kedua Franklin Delano Rosevelt, presiden kala itu. 
Prabowo, melalui pernyataannya agar elit Jakarta membuka, menggunakan hati melihat penderitaan rakyat, tanpa streotipe apapun, jelas maknanya. Maknanya tidak lain Prabowo tahu bahwa negara dimanapun, termasuk di Indonesia, tidak pernah diurus oleh banyak orang. Selalu seperti itu di belahan dunia lain, misalnya China dan Amerika, diurus oleh mereka yang sehari-hari dikenal sebagai elit. Kemajuan, kehancuran dan keterbelakangan sebuah negara selalu merupakan akibat langsung dari salah urus para elitnya. Ini pernyataan dan penilaian kompeten.
Bila otak elitnya dibungkus kepedulian khas para Kakistokrasi, maka penderitaanlah yang didapati rakyat, tanpa kecuali. Rakyat, apapun suku, ras agama atau golongannya, harus, bila boleh, tahu bahwa sedemokratis apapun sebuah negara, pemilih tidak pernah memiliki kesempatan kongkrit mengendalikan jalannya pemerintahan. Pemerintahan, dalam kenyataannya dimanapun di dunia ini, dikendalikan dan diurusi oleh segelintir orang.
Itu sebabnya, rakyat mesti memiliki keyakinan bahwa elit yang hendak disodori segera setelah pilpres berlalu adalah elit yang hatinya hidup. Emosi, fanatisme agama, suku, golongan atau apapun namanya, memang tidak mungkin diisolasi sepenuhnya dalam dunia politik, dunia yang sering sangat memuakan ini, kecuali lahirnya saja ini. Tetapi mengisolasinya dengan pertimbangan rasional, nampak tak bisa ditawar.
Mayoritas dalam demokrasi, yang acap dikhotbahi ilmuan kebanyakan, jujur, tak lebih dari sekadar sebagai romantika klasik. Demokrasi memiliki cara, sangat legitim dan legal, mengisolasi mayoritas dengan cara yang khas. Caranya adalah urusan pemerintahan menjadi urusan elit. Itu masalahnya. Itu sebabnya, sekali lagi, rakyat terlepas dari suku, agama atau golongan harus memiliki keyakinan bahwa presiden yang hendak dipilih memiliki otak dengan balutan hati yang bening. Ucapan dan sikapnya adalah patokan utama mengenalinya. 
Tumpah ruahnya massa dalam kampanye-kampanye Pak Prabowo dan Pak Sandi, yang sangat otentik itu, sejauh ini, jelas memantulkan makna bahwa Pak Prabowo dan Pak Sandi adalah pilihan tepat, bukan mimpi  terindah pemilih. Pilihan ini, cukup beralasan dihipotesakan, tidak dapat ditenggelamkan dengan monster khas barat, Islamfobia dan xenofophia lainnya. Mustahil pensiunan Jendral Angkatan Darat mau menghancurkan republik dan Pancasila dengan khilafah. Memilih Prabowo-Sandi, jujur, demi bangsa dan negara tercinta dengan Pancasilanya, tepat.
Jakarta, 30 Maret 2019 (ts)

Oleh : Margarito Kamis (Doktor HTN, Staf Pengajar FH. Univ. Khairun Ternate)

Subscribe to receive free email updates: