Duka pemimpin dunia atas wafatnya pembangkang Cina, Liu Xiaobo


News Internasional ~ Peraih Nobel Perdamaian, Liu Xiaobo, yang merupakan pegiat hak asasi dan demokrasi di Cina, meninggal pada usia 61 tahun setelah sempat dipenjara delapan tahun dalam vonis 11 tahun.

Sejumlah pemimpin dunia sudah menyatakan dukanya.

Kanselir Jerman, Angela Merkel, memberi penghormatan atas keberanian Liu Xiaobo dalam memperjuangan kebebasan berekspresi.

Sementara Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Rex Tillerson, meminta pemerintah Beijing agar membebaskan istrinya dan mengizinkan dia meninggalkan Cina di samping menyatakan duka cita.

Dari Prancis, Menteri Luar Negeri Jean-YvesLe Drian menyampaikan pesan: "Walau masa panjang penahanan dan untuk lebih dari 30 tahun, dia -dengan keberanian- tetap tidak pernah berhenti membela hak-hak dasar dan kebebasan berbicara'.

Komite Nobel di Norwegia mengatakan pemerintah Cina menanggung 'tanggung jawab besar' atas kematian peraih Nobel Perdamaian tahun 2010, yang tidak bisa diterimanya langsung dan diwakilkan dengan sebuah kursi kosong.


Dia sedang menjalani hukuman penjara yang dijatuhkan pada tahun 2009 setelah, bersama beberapa intelektual Cina mengeluarkan Piagam 08, yang menyerukan dihentikannya pemerintahan satu partai untuk diganti dengan demokrasi multipartai.

Sementara dia di penjara, istrinya, Liu Xia, dikenakan tahanan rumah.

Suara mengganggu Liu Xiaobo

Sepanjang hidupnya -sejauh ini- Liu pernah menjadi pegiat politik, penulis, guru besar di universitas, dan narapidana karena sering 'mengganggu' Partai Komunis Cina yang berkuasa.

Dia meraih Nobel Perdamaian setelah menantang langsung pemerintah dengan menuntut perubahan politik.


Di luar Cina, Liu mendapat banyak perhatian dan dukungan sebagai salah seorang pembangkang utama di Cina walau banyak warga di dalam negeri yang tak mengenalnya.

Liu pertama kali dikenal pada masa unjuk rasa terkenal di Lapangan Tiananmen, Beijing, tahun 1989.

Waktu itu dia pulang dari Amerika Serikat untuk bergabung dengan para pengunjuk rasa dan ketika mendengar tentara dikerahkan untuk membersihkan pengunjuk rasa, Liu berhasil membujuk beberapa mahasiswa agar pulang.

Setelah unjuk rasa diberangus -dan jatuh sejumlah korban jiwa- dia ditahan selama hampir dua tahun.


"Pembunuhan massal tahun 1989 memberi kesan yang mendalam kepada saya," katanya dalam sebuah wawancara dengan BBC hanya beberapa bulan sebelum ditangkap tahun 2008.

Sebelumnya, tahun 1996 dia juga pernah dikirim ke 'kamp pendidikan' selama tiga tahun karena mengkritik sistem satu partai di Cina.

Namun dia terus menyuarakan isu-isu yang tergolong tabu di Cina, antara lain mengecam perlakukan buruk Cina atas warga Tibet.

Tahun 2009 dia ditangkap dengan dugaan 'memicu subversi atas kekuatan negara' dan akhir tahun itu jug diganjar 11 tahun penjara dan dicabut hak politiknya selama dua tahun.

Akhir Juni, pihak berwenang Cina membebaskannya dari penjara untuk mendapat pengobatan bagi kanker hati yang dideritanya namun banyak pihak yang berpendapat keputusan itu sudah terlalu terlambat.

Sementara seruan dari beberapa negara Barat agar dia diizinkan untuk berobat ke luar negeri tidak disetujui Beijing.


Para ahli kesehatan Cina menegaskan bahwa dia sudah terlalu sakit untuk melakukan perjalanan.

Namun seorang dokter Jerman dan Amerika Serikat -yang beberapa waktu lalu mengunjungi dan memeriksanya di sebuah rumah sakit di Shenyang- berpendapat Liu Xiaobo masih mampu melakukan perjalanan.

Pihak rumah sakit First Hospital of China Medical University di Shenyang mengatakan bahwa kondisinya memburuk tak lama setelah dia dibawa ke rumah sakit.

Ditambahkan pengobatan antiinfeksi dan perawatan darah selama beberapa hari tetap tidak mampu untuk mencegah memburuknya kondisi dia, yang kemudian menyebabkan kegagalan organ tubuh serta kesulitan bernafas.

Dalam pernyataan singkat di situsnya, Biro Legal Shenyang mengatakan Liu menderita kegagalan sejumlah organ dan upaya-upaya untuk menyelamatkannya tidak berhasil.

 AGEN SBOBET

Subscribe to receive free email updates: