SBOBET Indonesia - Suparno hanya lulus SMP. Kerja keras dan kegigihannya membuat dia bisa membangun istana di kampung halamannya.
Jika Suparno tak merantau ke Jakarta, namanya mungkin tak akan sekondang sekarang. Lulus dari SMP Gajah Mungkur di kampung kelahirannya di Wonogiri, Jawa Tengah, Suparno pergi ke Jakarta pada 1990.
Dia memutuskan menyusul orang tua dan saudara-saudaranya yang lebih dulu pindah ke ibu kota negara. Ayahnya bekerja sebagai penjaga rumah milik Soedjarwo, Menteri Kehutanan era Soeharto, yang juga berasal dari Wonogiri.
"Kami tinggal di kawasan kumuh di Muara Baru, Pluit," ujar Suparno saat menuturkan kisahnya kepada detikX, Selasa, 11 Juli lalu. Tak ingin membebani ayahnya, Suparno memutuskan mencari kerja.
Angan-angan melanjutkan pendidikan di sekolah menengah atas bidang ekonomi terpaksa dipendamnya. Rupanya tak mudah mendapatkan pekerjaan di Ibu Kota. "Nggak tahu juga mau kerja apa. Bingung. Di kampung saya biasa angon kambing."
Beruntung, ia diterima di sebuah perusahaan distributor minyak pelumas buatan Prancis dan bahan kimia. Apa saja dia kerjakan. "Pekerjaan saya serabutan. Disuruh kirim barang, cuci piring, menyapu, belanja makanan, menunggu gudang."
Rupanya Suparno punya keinginan bisa lebih baik. Sambil menunaikan tugasnya, Suparno pelan-pelan mengamati dan menyerap ilmu pemasaran dari karyawan-karyawan lainnya.
"Saya sadar pendidikan tak tinggi, jadi saya menambah ilmu lewat seminar-seminar dan baca buku."
Tiga tahun kemudian, ia akhirnya diangkat menja di tenaga pemasaran. Suparno berusaha keras memberikan yang terbaik. "Saya sadar pendidikan tak tinggi, jadi saya menambah ilmu lewat seminar-seminar dan baca buku," ujarnya. Kerja keras itu terbayar ketika ia diberi tanggung jawab untuk memegang pemasaran daerah Jakarta dan sekitarnya. "Saya selalu berusaha jadi nomor satu."
Setelah 13 tahun meniti karier di perusahaan tersebut, Suparno dipanggil pemilik perusahaan. Ia diminta membuka usaha sendiri karena dinilai layak untuk mandiri. "Ibarat burung, saya dibilang sudah siap terbang. Saya diminta terbang. Jangan berhenti di bawah," ujar Suparno menirukan nasihat bekas bosnya itu.
Mulai 2003, Suparno mendirikan perusahaannya sendiri di daerah Tangerang. Ia masuk di bidang impor bahan-bahan kimia dari Jepang. "Perusahaan lama saya tak menggarap serius bidang ini, jadi saya masuk," ujar ayah dua anak itu. Suparno juga mendirikan pabrik pengolahan cokelat di Lampung, daerah asal istrinya.
Tak hanya itu, pada 2010 ia menggagas industri pembuatan batik di kampungnya. Cerita berawal saat Suparno pulang ke desanya untuk berlibur. Ia bertemu dengan seorang ibu yang menggendong anak memakai kain jarit mengendarai sepeda motor tua. Di tangannya, ibu itu menenteng buku sertifikat tanah. "Ibu itu bilang mau menggadaikan sertifikat tanah untuk biaya pengobatan anaknya," ujar Suparno.
Setelah ibu dan anak itu berlalu, tebersit rasa penyesalan dalam diri Suparno. "Saya kok nggak membantu ibu itu," ujarnya. Menurut Suparno, di kampung halamannya banyak yang bernasib serupa dengan ibu itu. Terpaksa menggadaikan harta karena tak punya sumber penghasilan. "Saya terpikir bagaimana membantu menumbuhkan ekonomi di kampung, tapi saat itu tak tahu dengan cara apa."
Hampir setahun niat membantu kampung halamannya hanya terendap di pikirannya. Hingga suatu ketika Suparno mengantar anaknya berbelanja di sebuah toko buku. Matanya terantuk pada sebuah buku tentang batik. "Saya baca ada cerita soal sekolah batik di Solo dan Yogyakarta," ujarnya. Cerita sekolah batik itu membetot perhatiannya. Ia pun terpikirkan mengembangkan batik di kampung halamannya.
Tak berlama-lama, Suparno bergegas pulang kampung ke Wonogiri. Ia segera mencari-cari orang yang mau disekolahkan untuk belajar seni batik tulis. "Hari itu juga saya dapat dan langsung saya urus sekolah batik di Solo. Semua saya biayai," ujarnya. Namun Suparno memberi syarat. Setelah lulus, pemuda itu harus kembali ke desanya untuk mengajar batik bagi yang lain.
Tiga bulan kemudian, rumah keluarga Suparno di kampung dipenuhi warga yang berminat belajar membatik. "Sampai-sampai rumah kayak kebakaran, penuh asap dari canting-canting batik," ujar Suparno sambil tertawa. Suparno kemudian memodali para calon perajin batik itu dengan canting dan kain. Kain-kain yang telah dilukis itu dia beri nama batik tulis Parnajaya. "Asalnya dari nama kecil saya, Parno."
Menjelang 6 tahun mengembangkan usaha batik, kini Batik Parnajaya mengkaryakan lebih dari 80 perajin. "Motif yang dikembangkan abstrak, kontemporer, dan tradisional," ujar Suparno. Dua tahun lalu, Suparno menggagas membatik pada kain 1.001 meter, yang kemudian disumbangkan untuk para veteran dan anak-anak yatim.
Kisah sukses Suparno tersebar ke mana-mana, terutama setelah media memberitakan cerita bagaimana dia membangun sebuah rumah menyerupai Istana Negara dengan luas 700 meter persegi di kampung halamannya, Desa Kebonagung, Kecamatan Sidoharjo, Wonogiri. Menurut Suparno, rumah megah yang berdiri di atas lahan 2.400 meter persegi itu didedikasikan untuk para warga lanjut usia yang berada di Wonogiri.
Rasa hormatnya kepada para lansia, menurut Suparno, sebagai bentuk rasa terima kasihnya kepada nenek yang membesarkannya. Sejak usia 5 tahun sampai menjelang merantau ke Jakarta, Suparno memang hidup bersama neneknya, yang dipanggilnya dengan sebutan Mbah Sakem. "Karena rumah kami penuh, saya dititipkan kepada nenek," ujarnya. Rasa sayang neneknya itu, menurut Suparno, sangat luar biasa. "Saya bahkan diberi warisan sebagian dari hartanya saat beliau meninggal."
Utang budi kepada Mbah Sakem ditunjukkan Suparno dengan membantu para lansia di kampungnya. Sejak dua tahun lalu, ia menyisihkan uang setiap bulan untuk dikirim ke desa. Suparno merekrut belasan orang untuk membantunya menyalurkan bantuan setiap tanggal 22 kepada 300-an lansia. "Belakangan banyak mbah-mbah yang pengin ketemu. Katanya saya terima uang tiap bulan tapi belum pernah ketemu orang yang kasih," ujar Suparno.
Begitu ada yang menjual tanah yang cukup luas, Suparno langsung membelinya. Ia pun membangun rumah untuk dipakai menjamu para lansia. Rumah memang sengaja dibangun megah untuk menyenangkan para tamunya. "Kalau pulang, saya akan ajak mereka makan bersama dan cek kesehatan di rumah itu. Tentu mbah-mbah itu akan merasa sangat senang," ujar Suparno. "Saya juga terinspirasi budaya orang Jepang yang sangat menghormati orang tua. Saya memberi contoh bahwa lansia itu harus dihormati."
Populer di tanah kelahirannya, Suparno mengaku sama sekali tak berniat masuk dunia politik, meski ia tahu banyak yang tak percaya pada keputusannya itu dan banyak tawaran untuk masuk partai politik . "Jadi pengusaha saja sudah cukup. Toh, teman saya yang bupati bilang, saya tidak usah jadi bupati saja kerjanya sudah lebih dari bupati," ujar Suparno.
Ketua Umum Paguyuban Masyarakat Wonogiri Leles Sudarmanto mengungkapkan perantau asal Wonogiri yang menetap di Jakarta dan sekitarnya diperkirakan 400 ribu orang atau hampir sepertiga populasi Kabupaten Wonogiri saat ini.
Dulu pemuda-pemuda Wonogiri tak punya banyak pilihan selain merantau jika ingin hidup lebih baik lantaran kampung halaman mereka tandus dan gersang. "Pola pikir warga Wonogiri itu perantau untuk cari makan. Jika mau bertahan hidup, harus keluar dari daerahnya," ujarnya. Leles sendiri merantau ke Jakarta sejak masih remaja.
Sebagian besar orang Wonogiri yang merantau, kata Leles, bekerja sebagai pedagang bakso, pekerja pabrik, dan jualan jamu gendong. Namun ada juga yang menjadi pejabat, baik militer maupun sipil, seperti mantan Kepala Badan SAR Nasional Marsekal Madya (Purnawirawan) Daryatmo dan Menteri Kehutanan era Orde Baru Soedjarwo.
Kendati kampung halaman kering dan gersang, para perantau ini tak pernah lupa pada kampungnya. "Kami berusaha agar para perantau Wonogiri tidak melupakan asal mereka dan memberi kontribusi bagi pembangunan Wonogiri," ujar Leles.
AFILIASI :