Yang Suka Ceramah Ngawur adalah Pejabat, Kenapa Gak Dihukum?

Jiromedia.com -Oleh: Fahri Hamzah*

Semoga kemenangan Ustadz Alfian Tanjung menjadi tonggak berakhirnya kriminalisasi kepada ceramah dan opini.

Opini harusnya dijawab opini, data dilawan pakai data. Menjadi bahaya apabila semua dilawan pakai polisi dan aparat negara.

Selama ini yang suka ceramah ngawur itu pejabat… Bukan Ustadz dan Ulama… Kenapa kalau presiden ngawur ceramahnya gak diadili?

Atau menteri, atau ketua umum partai? Atau yang lain yang sudah dilapor tapi bebas? Kenapa yang dituduh Hate Speech cuman Ulama?

Percayalah, yang sedang terjadi ini adalah kegalauan dan kegamangan pemimpin menghadapi demokrasi dan kebebasan.

Gak tahu caranya! Serahkan ke orang yang ngerti cara hadapi demokrasi dan kebebasan rakyat. Gampang kok…

Unsur kejahatan dalam kata-kata itu pada dasarnya sulit di-kriminalisasi. Sebab itu bisa menabrak kebebasan berbicara yang sedang tumbuh. Kita tahu batas kata-kata.

Tapi saya setuju, agar menyerang agama, dan semua yang suci layak dikriminalisasi, termasuk menyerang SARA.

Mari kita biasakan berpikir rasional, termasuk untuk menangkap rasa yang membuat orang marah dan tersinggung.

Sebab itu ada dan manusiawi. Tapi waspadalah jika nanti negara sibuk memeriksa omongan orang dan mengadilinya setiap saat.

Ustadz Alfian Tanjung setahu saya, dia menuduh ada partai yang kadernya komunis. Sementara komunis itu dilarang di sini.

Harusnya itu dijawab aja dengan data. Sebab parpol sebagai lembaga semi Publik punya tugas penerangan yang besar.

Sama dengan jika kita menuduh, ada partai isinya koruptor atau teroris, buktikan aja. Gak usah lapor polisi.

Sebab dalam politik, tuduhan itu rutin. Tugas rutin politisi adalah menjawab fitnah. Ini menyehatkan ruang publik.

Saya juga sedih waktu Ahmad Dhani diadili karena nulis twitter, “pendukung penista agama layak diludahi”.

Tulisan itu memang kurang sopan. Tapi penista agama memang kriminal. Sama dengan bilang: ”pendukung koruptor/teroris layak diludahi”. Apa yang salah?

Kita sepakat dengan apa yang sudah dilegislasi tapi jika semua dianggap ujaran kebencian.

Maka bisa-bisa mempersoalkan UU yang ada secara ilmiah nanti dianggap kebencian. Padahal itulah cara hidup berkembang. Itulah dunia kita.

Kita harus bisa mencari cara mencegah kebencian menjadi wabah tapi pada saat yang sama jangan biarkan kebebasan orang untuk berbicara dan berpendapat menghadapi tembok besar.

Sebab kebencian dan belenggu sama-sama jahat.

Kita layak cemas karena belenggu telah menjalar ke banyak tempat, termasuk mimbar rumah ibadah dan kampus.

Hal itu juga justru menebarkan perasaan saling membenci karena itu semua dikaitkan dengan Islam. Coba cek deh.

Tapi entahlah. Karena saya juga khawatir, Kita sebetulnya lebih gandrung dengan ketidakbebasan, kita senang hidup dalam sangkar.

Padahal burung pun mengeluh. Kecuali burung beo.

*Penulis adalah Wakil Ketua DPR RI [swa]

Subscribe to receive free email updates: