Sebab, menurutnya, mekanisme pengambilalihan saham Freeport oleh pemerintah Indonesia tidak transparan.
"Pengalaman divestasi itu sudah banyak. Dulu sudah pernah ada privatisasi saham batu bara, kemudian ada privatisasi saham tambang emas terbesar nomor dua di Indonesia. Sekarang ada privatisasi Freeport. Akhirnya itu yang lalu-lalu punya masalah," beber Legislator dari NTB itu di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (13/7/2018).
Menurutnya, tidak transparannya pengalihan saham itu ditandai dengan adanya deal dari pemerintah menggunakan pihak ketiga dan keempat.
Faktanya, kata dia, bukan divestasi sebetulnya, hanya pengalihan saham di antara perusahaan dan pembagian-pembagian yang menyebabkan tidak utuh yang sebesar 51 persen dimaksud. Belum lagi, terlibat saham yang dijaminkan ke tempat lain.
Sebaiknya, saran dia, kepada pemerintah, agar sebelum pengumuman itu disiarkan lebih baik dijelaskan dulu secara transparan siapa pihak yang membeli berikut sumber dananya.
"Yang beli siapa? 53 triliun itu uangnya darimana dan kantong siapa? Karena yang jelas itu tidak dari APBN. Uang itu kalau dari Inalum kan lebih dari 60 persen, asset Inalum sendiri habis konsorsium tambang yang baru tahun 2013 diambil alih Pak SBY," ungkapnya.
"Jadi jangan bikin pengumuman pencitraan begitu. Tapi bikin pengumuman struktur sahamnya itu sekarang punya siapa. Siapa saja yang punya hak di situ, kemudian saham itu diagunkan ke siapa dan seterusnya," sambungnya.
Adapun dana untuk mengambilalih saham Freeport dari pinjaman bank, lanjut Fahri, pemerintah juga harus menjelaskan skemanya. Jangan, kata dia, seperti kasus yang sudah-sudah dan ujungnya menipu rakyat.
"Kalau dalam kasus NTB yang sekarang diperiksa KPK itu, minjamnya kepada pihak yang mengambil alih lewat belakang. Jadi pemerintah nih cuma dipakai namanya lalu perusahaan-perusahaan ini minjemin uang ke pemerintah. pemerintah mengumumkan ke rakyat seolah-olah yang ambil pemerintah, padahal yang ambil swasta juga. Ini nanti jadi bohong gitu," sindirnya.
Fahri pun meminta pemerintah lebih baik jujur terkait skema divestasi saham Freeport. Daripada, saham perusahaan tambang milik Amerika Serikat itu memunculkan masalah dikemudian hari.
Pemerintah, menurutnya, jangan menghadirkan pencitraan yang tidak perlu. Padahal, negara tengah terhimpit kondisi ekonominya.
"Makanya enggak usah gembar gembor dan gagah-gagah divestasi 51 persen. Jujur ajalah. Kalau saya terus terang kejujuran itu jauh lebih penting daripada ntar jadi masalah. Karena tidak transparan siapa-siapa yang punya uang itu. Jangan-jangan kita disuruh beli sama yang punya tambang juga," tandas Fahri.
"Ternyata uang freeport juga atau afiliasi Freeport. Ternyata ada konglomerasi tambang juga yang mengendalikan Freeport karena enggak mau kehilangan kendali. Jadi yaudah lah transparan, ungkapkan ke publik, ini loh skemanya dan rakyat harus tau ini uang sama. Jadi gagah-gagahan ini siapa?," sindirnya.
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan kemarin sore menggelar acara penandatanganan Head of Agreement (HoA) dengan PT Freeport Indonesia (PTFI) dalam rangka pengambilalihan saham. Acara penandatanganan ini menjadi tanda bahwa telah tercapai proses pengambilalihan saham Freeport Indonesia hingga 51 persen.
Penandatanganan dilakukan oleh Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin dan CEO Freeport Mcmoran Ricard Adkerson.(ts)